JAKARTA SINDORAYA.COM Dalam hukum pidana formil, sering kali terjadi perdebatan normatif antara penangkapan dan tertangkap tangan.
“Dalam praktek, tertangkap tangan sering diartikan sebagai tertangkap basah, atau tertangkap saat melakukan tindak pidana. Oleh karena tertangkap basah maka massa pun acap kali menghakimi pelaku tindak pidana baru setelah itu diserahkan ke Polisi.”kata Adv.Arthur Noija, SH saat diwawancara awak media pada Rabu, (8/5/2024) di Kantor Gerai Hukum ART dan Rekan di bilangan Senen, Jakarta Pusat.
Arthur memaparkan namun ada juga tertangkap tangan ini dilakukan oleh polisi yang sedang bertugas atau sedang partroli dan menemukan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, misalnya melakukan begal, kebut-kebutan di jalan, atau pencurian kendaraan bermotor dan lain-lain.
“Sementara itu penangkapan dalam praktek, ada upaya pengintaian, ada laporan dari masyarakat tentang dugaan tindak pidana dan dengan pelaku si A atau si Fulan.” jelas Arthur.
Lanjut Arthur menjelaskan oleh karena adanya informasi dan hasil pengintaian ini maka dilakukan penangkapan. Saat dilakukan penangkapan oleh karena identitas si A atau si Fulan sudah dipegang polisi, maka disiapkan lah surat penangkapan dengan identitas si A atau si Fulan lengkap dengan alamat dan uraian singkat tindak pidana yang dituduhkan atau diduga dilakukan.
Pengertian Normatif
Penangkapana adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntututan atau peradilan yang menurut cara diatur dalam KUHAP.
Penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur dalam Pasal 1 angka 19 dan angka 20, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19.
Dalam Keempat pasal ada 2 jenis penangkapan yaitu penangkapan biasa dan tertangkap tangan.
Dalam hal penangkapan biasa maka oleh POLRI wajib memperlihatkan surat tugas penangkapan dan wajib memperlihatkan kepada tersangka.
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan tanpa surat perintah, namun wajib menyerahkannya kepada penyidik dan tembusannya harus segera diserahkan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Praperadilan Penangkapan dan Tertangkap Tangan
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 diperkuat lagi dengan SEMA 4/2016, syah tidaknya penangkapan termasuk dalam objek praperadilan.
Sementara itu syah tidaknya tertangkap tangan bukan merupakan objek praperadilan berdasarkkan ketentuan tersebut.
Oleh karena tertangkap tangan bukan merupapakan objek praperadilan, maka polisi lebih memilih melakukan tertangkap tangan dari pada penangkapan karena tidak ada resiko di praperadilkan.
Dalam banyak kasus, acap kali Polisi menggunakan alasan subjektif untuk menyatakan suatu dugaan tindak pidana dilakukan upaya “tertangkap tangan”. Padahal secara juridis harusnya dilakukan penangkapan karena syarat-syarat juridis terpenuhi.
Namun karena secara juridis harus dilengkapi dengan surat, saksi dan prosedur juridis formil lainnya, maka polisi menyatakan sebagai upaya tertangkap tangan.
Bahkan dalam beberapa kasus dilakukan penjebakan, padahal identitas terduga tindak pidana sudah diketahui, dan secara juridis formil upayanya seharusnya penangkapan bukan tertangkap tangan.
“Langkah tersebut harus diuji di praperdilan apakah memang benar tertangkap tangan atau sebenarnya bisa dilakukan penangkapan (penangkapan biasa).” tegas Arthur.
Dengan situasi yang digambarkan di atas maka diperlukan upaya pengujian di pranata praperadilan apakah tindakan tertangkap tangan secara normatif menggunakan kriteria juridis yang benar, atau apakah ada “penculikan” dari kriteria norma yang tidak benar.
“Dengan situasi yang digambarkan di atas maka diperlukan upaya pengujian di pranata praperadilan apakah tindakan tertangkap tangan secara normatif menggunakan kriteria juridis yang benar, atau apakah ada “penculikan” dari kriteria norma yang tidak benar.” pungkas Adv.Arthur Noija, SH orang nomor satu di Kantor Gerai Hukum ART dan Rekan. (LAG76).
*Sumber : Gerai Hukum ART & Rekan