Sindoraya.com, Surabaya, – M. Sholeh Efendy, warga Kalilom, Surabaya, yang menjadi korban dalam perkara perusakan fasilitas umum (fasum) di kawasan tersebut, kembali menyuarakan keluhannya terhadap kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak. Ia menilai penegakan hukum berjalan lamban, terutama karena hingga kini terpidana Darmanto dan istri keduanya, Dian Kusmianti, belum juga ditahan.
Menurut Sholeh, perkara yang telah bergulir sejak lama itu seolah tidak mendapat perhatian serius dari pihak kejaksaan. Padahal, bukti-bukti dugaan perusakan dinilai sudah cukup kuat dan bahkan telah sampai ke tahap persidangan.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Kalau rakyat kecil seperti saya harus menunggu tanpa kepastian, di mana letak keadilan itu?”
ujar Sholeh dengan nada kecewa saat ditemui wartawan di Surabaya, Rabu (29/10/2025).
Awal Persoalan: Dari Sewa Lahan ke Perusakan
Kasus ini bermula pada tahun 2015, ketika Sholeh menyewa sebidang tanah kosong milik Sudarmanto, seorang pegawai PT Pelni Surabaya, untuk mengembangkan usaha barang bekas. Keduanya sepakat harga sewa sebesar Rp5 juta untuk tiga tahun, dibayar penuh di awal.
Namun, sejak awal Sholeh tidak pernah menerima kwitansi resmi dari Sudarmanto. Permintaannya berulang kali diabaikan. Hingga dalam rapat di DPRD Surabaya pada Juni 2022, Sudarmanto akhirnya mengakui bahwa uang sewa tersebut memang telah diterima.
Sayangnya, pengakuan itu tidak diikuti tindakan perbaikan. Di atas lahan yang masih disewa Sholeh, Sudarmanto justru mendirikan bangunan tanpa izin, yang mengakibatkan tembok rumah Sholeh ikut retak dan rusak.
Perjuangan Hukum yang Panjang
Merasa dirugikan, Sholeh melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. Laporan itu berkembang menjadi perkara perusakan fasilitas umum dan bangunan milik M. Sholeh, dengan Darmanto serta istri mudanya, Dian Kusmianti, turut terseret sebagai pihak yang diduga terlibat.
Hingga kini, Pengadilan Negeri Surabaya belum menjatuhkan vonis terhadap Sudarmanto.
Jaksa Dilla, yang menangani perkara tersebut, menjelaskan bahwa pihaknya belum melakukan penahanan karena adanya upaya banding dari terdakwa.
“Memang kami belum melakukan penahanan terdakwa karena adanya upaya banding. Untuk lebih jelasnya, silakan tanya ke Asintel,” ujar Sholeh menirukan ucapan Jaksa Dilla.
Hukum yang Lamban dan Rakyat Kecil yang Sabar
Meski kecewa, Sholeh mengaku tetap berusaha tegar dan percaya bahwa keadilan masih bisa ditegakkan.
“Tekad saya sudah bulat. Tenaga, pikiran, dan materi sudah terkuras. Tapi saya yakin dengan dukungan teman-teman dan awak media, keadilan akan menemukan jalannya,”
ucapnya dengan penuh harap.
Ia berharap aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan, dapat bekerja lebih tegas, transparan, dan profesional agar kepercayaan publik terhadap hukum tidak semakin luntur.
“Saya hanya ingin kejelasan. Jangan sampai hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah,” tutup Sholeh.
Catatan Redaksi
Beberapa sumber di lingkungan Pengadilan Negeri Surabaya menilai bahwa upaya hukum banding hingga peninjauan kembali (PK) sering kali dijadikan strategi untuk menunda eksekusi hukuman. Dalam banyak kasus, proses panjang seperti ini berakhir tanpa kepastian hukum yang jelas.
Kasus yang menimpa M. Sholeh menjadi cermin kecil wajah penegakan hukum di negeri ini — di mana keadilan bagi rakyat kecil sering kali harus diperjuangkan dengan kesabaran panjang.
Dasar Hukum
Tindakan perusakan terhadap fasilitas umum dan bangunan milik orang lain termasuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam:
Pasal 170 KUHP: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Pasal 262 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP: Setiap orang yang merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat digunakan suatu bangunan milik orang lain dapat dipidana dengan penjara paling lama tujuh tahun.
( Redaksi )
